CINTA AINI Bau tembakau menguar di udara, aroma apek rajangan daun tembakau yang belum kering itu menambah pening kepalaku. Panas mat...
CINTA AINI
Bau tembakau menguar di udara, aroma apek rajangan daun tembakau
yang belum kering itu menambah pening kepalaku. Panas matahari menyalat
membakar ujung kepala hingga kakiku. Aku masih saja menyusuri jalan beraspal
yang tak begitu lebar, itupun harus rela berbagi tempat dengan rigen tembakau
para petani yang berjajar melintang di pinggir jalan. Tampaknya mereka harus
berpacu dengan matahari, saat matahari bersinar terik seperti ini merupakan
anugerah bagi mereka. Tembakau kering dan uang pun sudah terbayang di pelupuk
mata. Namun, saat mendung menggantung disusul guyuran hujan bakal jadi bencana
bagi mereka, kerugian pun membayangi hari-hari mereka. Tembakau urung kering
bahkan membusuk, entah bagaimana mereka akan melanjutkan hari-harinya.
Ah.… kenapa aku jadi peduli
dengan mereka, nasibku pun tidak jauh berbeda dengan mereka yang harus bergelut
dengan kerja keras dan penderitaan. Tapi aku tidak menyesalinya, aku
bersyukur telah keluar dari rahim ibuku dan merasakan keindahan dunia
meski hidupku kini tak seindah yang kuimpikan.
Jalan yang harus kulewati masih
cukup panjang, kulihat para petani tembakau sedang sibuk membolak-balik
rajangan tembakau. Ya… awal bulan Agustus merupakan panen raya para petani
tembakau, saat ini mereka tengah menjalankan tahap awal dari proses pembuatan
barang yang jadi kontroversi halal haramnya. Rokok memang jadi komoditi ironi,
satu sisi merupakan sumber penghasilan yang bisa menopang kelangsungan hidup
sebagian kalangan sementara di sisi yang lain merupakan sumber petaka bagi sebagian
manusia yang lain karena dianggap sebagai sumber berbagai penyakit. Sekali lagi
kenapa aku jadi memikirkan mereka lagi sih…?
Tak terasa terminal induk tempat
aku mencari kendaraan menuju rumah sudah nampak, peluh yang bercucuran dari
dahi kuusap dengan tisu. Rasa capek, haus, dan panas hilang saat angkudes
kumasuki dan berjalan pelan menuju tempat tinggalku. Ada rasa tentram saat aku
membayangkan rumah besar berpagar dedaunan hijau dan rimbunya halaman dengan
aneka pepohonan. Kubayangkan seraut wajah renta milik Kek Lik (sebutan untuk
adik Kakek) yang selama ini jadi orang tua kedua bagiku, senyum selalu
mengembang dari bibirnya yang keriput. Tangannya tak lagi kokoh ketika kucium
saat aku hendak pergi atau pulang ke rumah, meskipun demikian keteduhan dan
ketenangan selalu kutemukan dari telaga matanya.
Saat ini, aku harus terdampar di
suatu desa yang jauh dari tempat tinggalku dulu karena perbedaan prinsip kedua
orang tuaku yang tidak bisa lagi dipertemukan. Ayah memilih bekerja di Jakarta
untuk menyembuhkan perasaan luka dan kecewanya pada keputusan ibu. Aku tak
pernah mengerti mengapa ibu yang selama ini jadi sosok sempurna bagiku,
tiba-tiba berubah menjadi sosok yang tak lagi aku kenali. Ibu tega meninggalkan
kami demi menikah lagi dengan laki-laki yang entah darimana dia berasal, muncul
begitu saja merenggut kebahagiaan keluarga kami. Air mata meleleh turun ke
kedua pipiku, kuseka perlahan sebelum semua orang di angkudes memandang aneh
kepadaku.
“Gapura Kuning kiri ya Pak!”
seruku pada sopir angkudes.
“Yak… sini Dik, hati-hati turun
kaki kiri dulu ya…!” pesannya ramah padaku.
Kuulurkan selembar uang ribuan plus senyum manis buat Pak
Sopir ramah itu.
“Makasih Pak!”
“Sama-sama!”
sahutnya ceria.
Kutatap bokong kendaraan yang melaju pelan, suasana kekerabatan
yang tak mungkin kudapat jika aku masih tinggal di Semarang.
“Nuwun sewu Mbah, nderek
langkung¹,” ucapku pada seorang nenek yang tengah menjemur gabah.
“Kondur,² Mas,”
jawabnya renyah.
Mas adalah panggilan hormat bagi siapapun, entah perempuan,
laki-laki, anak kecil, maupun orang dewasa, semuanya dipanggil dengan sebutan
itu. Mulanya aku kaget lho perempuan kok dipanggil Mas sih…saat kutanyakan
kepada Kek Lik jawabannya ya seperti yang kututurkan tadi.
“Assalamualaikum, Kek!” kulihat
Kek Lik sedang asyik membersihkan kandang perkutut peliharaannya.
“Waalaikumsalam. Baru pulang Nduk?”
“Ya, Kek” sahutku sambil
mengambil tangan kakek untuk kucium.
“Sudah makan sana, tadi Parti
masak sayur lodeh kesenenganmu lho!”
Aku mengangguk mengiyakan sembari
berjalan masuk ke dalam rumah. Kulewati deretan kursi tua yang tertata rapi dan
masih tampak kokoh meskipun sudah berumur puluhan tahun. Kamarku berada di
ujung dekat ruang makan dan dapur. Aku suka kamar yang disediakan Kek Lik
untukku, kamar yang cukup besar dengan dipan jati berukir. Di ujung kamar ada
lemari kecil tempat aku menyimpan baju dan semua keperluan pribadiku. Di
kamarku tergelar karpet hijau tua tempat yang nyaman bagiku untuk mengerjakan
tugas sambil tengkurap dan tiduran jika aku capek. Satu lagi yang aku suka,
saat kubuka jendela kulihat jajaran bunga dahlia dan mawar yang beraneka warna.
Ah.. beruntungnya aku bisa merasakan semua ini.
Aku jarang sekali ke luar rumah
kecuali untuk hal tertentu seperti ke warung atau sesekali mengunjungi saudara
ayah yang rumahnya agak jauh dari rumah Kek Lik. Hari-hari kuhabiskan dengan
belajar, jika bosan aku usir dengan membuat kerajinan dari flanel. Bando, karet
pengikat rambut, gantungan kunci, gantungan HP, bros, dan pernak-pernik cantik
untuk anak perempuan adalah barang-barang yang bisa kubuat. Keterampilan itu
kudapat dari tetangga sebelah rumah sewaktu aku masih di Semarang. Berkat Tante
Nuri yang berbaik hati mengajariku itulah aku dapat menghasilkan uang sendiri.
Yah meskipun kecil tapi dapat kugunakan untuk membeli buku atau majalah yang
aku suka.
“Assalamualaikum,” terdengar
suara dari pintu depan rumah. Suara yang amat aku kenal dan kurindukan.
“Ayah….!!” sorakku sambil bangkit
menuju pintu depan. Ups hampir saja aku bertabrakan dengan Kek Lik yang juga
akan membukakan pintu.
“Maaf Kek, itu seperti Ayah?”
Kakek mengangguk. Tak kupedulikan
reaksi kakek saat itu, yang ada di kepalaku cuma satu .. bertemu dengan ayah.
“Ayah ….,” kupeluk erat sesosok
laki-laki yang berdiri di tengah pintu. Ayah memelukku erat dibelainya rambutku
dengan penuh kasih sayang. Tangisku pecah, air mataku tumpah membasahi jaket
ayah. Dibiarkan aku menangis tergugu dalam rengkuhannya. Seperti anak kecil,
aku takut kehilangan orang yang amat kucintai, aku masih saja menangis. Enam
bulan tak bersua, rasanya seperti bertahun-tahun lamanya.
“Sudah Nduk, Ayah tahu
perasaanmu,” suaranya terdengar parau. Dibimbingnya aku menuju kursi tamu. Aku
masih belum melepaskan pelukanku.
“Kamu sehat, ta? Kerasan di
tempat Kakek?
Aku tak mampu menjawab dengan kata-kata, tenggorokanku tersekat.
Aku hanya mengangguk pelan mengiyakan. Setelah suasana hatiku mulai tenang, aku
beringsut agak menjauh dari tempat duduk Ayah. Aku malu sama Kek Lik. Sudah
besar kok cengeng… pasti begitu pikiran Kakek melihat kejadian tadi.
“Sehat
ta Mbah? Nurul nggak rewel, nggak
ngrepoti Si Mbah?”
“Ya Alhamdulillah, waras. Tidak Le. Anakmu itu
pinter dan penurut!”
“Yah syukurlah, saya tenang mendengarnya. Nur … ada yang ingin
Ayah sampaikan ke kamu. Ayah mendapat tawaran untuk bekerja di Batam.
Penghasilan di sana jauh lebih besar dibandingkan di Jakarta. Ayah ke sini
memberitahukan ini sekaligus pamit. Nanti sore Ayah berangkat, jam 5 sore
pesawat dari Yogya akan membawa Ayah ke Batam,” pamit Ayah padaku.
Ah… perasaanku yang tadinya damai dan tentram karena kukira Ayah
akan mendampingi hari-hariku ternyata aku keliru. Kecewa, sedih, marah
berkecamuk jadi satu. Aku hanya diam membisu, aku tak tahu apa yang harus
kukatakan. Ayah.. kenapa hanya sekejap aku bisa merasakan kasih sayangmu,
sekarang engkau akan meninggalkanku lagi. Entah berapa lama lagi kita akan
bertemu.
“Aku tahu kamu pasti kecewa sama
Ayah. Tapi semua itu kulakukan untuk masa depan kita. Ayah ingin kamu dapat
kuliah dan kelak bisa hidup bahagia. Kamu adalah satu-satunya gantungan hidup
Ayah nanti. Kamu adalah satu-satunya benda berharga yang Ayah miliki,
karena itu Ayah akan bekerja keras demi keberhasilanmu Nduk…”
Direngkuhnya bahuku, kutenggelamkan
kepalaku di dadanya. Ah.. Ayah seandainya aku boleh memilih aku ingin kau ada
di sini. Namun, perkataan Ayah benar. Aku harus membuang jauh perasaan sedih
dan kecewa ini, semua demi kebaikan kami. Ah.. Ayah .. sampai kapan aku harus
hidup jauh darimu.
*****
“Mbak Nurul, dapat undangan dari Mas Anshori ketua karang taruna kampung ini.
Ada rapat di balai kampung. Ini undangannya Mbak,” ujar Mbak Parti
pembantu rumah Kakek sambil mengulurkan sepucuk surat undangan.
“Makasih Mbak…, eh tunggu .. Mbak
Parti kira-kira saya bisa berangkat dengan siapa ya? Kalau tak ada teman aku malu lhe Mbak!”
“Nanti biar Tanti sama Yono,
keponakan saya yang ngampiri Mbak Nurul,” jawabnya seraya berlalu
dari hadapanku.
‘Wah.. aku belum kenal betul sama
Tanti dan Yono, tapi nggak apa-apalah itung-itung nambah teman. Aku juga harus
bergaul dengan anak-anak kampung ini dan menjadi bagian dari kampung ini,’
batinku.
Pukul 19.00, Tanti dan Yono
benar-benar menghampiriku. Mereka anak yang enak diajak ngobrol, meski anak
kampung tapi pengetahuan mereka luas. Pantas saja jika mereka jadi pengurus
karang taruna.
“Mbak Nurul .. nanti ada
kesempatan buat Mbak Nurul untuk memperkenalkan diri. Harapan kami Mbak Nurul
bisa aktif dalam kegiatan karang taruna sehingga karang taruna desa ini bisa
semakin maju,” ujar Tanti. Dia anak perempuan sebaya denganku duduk di
bangku SMK kelas XII sepertiku. Kami lain sekolah, beruntung aku dapat
diterima pindah di SMK Negeri sementara Tanti di SMK swasta.
Acara demi acara berlalu,
perkenalanku dengan anggota karang taruna berjalan lancar malah aku dipilih
menjadi seksi usaha dalam acara peringatan Kemerdekaan RI tahun ini. Pukul
21.30 acara usai, aku pulang diantar Tanti dan Yono. Kebetulan saat kami pulang
berbarengan dengan dua orang cowok yang jalannya searah menuju rumah Kek Lik.
“Kenalkan namaku Taufiq, ini
sepupuku Dimas dari Surabaya sedang liburan di sini,” begitulah cowok tinggi
berjaket coklat itu memperkenalkan dirinya dan saudaranya.
“Nurul Aini,” jawabku seraya
menjabat tangan keduanya. Tanti dan Yono pun melakukan hal yang sama pada
mereka. Ada perasaan aneh saat tanganku menjabat tangan Dimas, seperti
tersengat aliran listrik panas dingin menjalar ke seluruh tubuh tapi kubuang
jauh perasaan itu. Mungkin aku hanya terpesona dengan wajahnya yang tampan itu.
O lala… ternyata rumah Taufiq
berada di sebelah kiri rumah Kek Lik, perasaanku jadi membuncah.
Kesempatanku untuk melihat wajah Dimas makin terbuka. Aku tersenyum simpul.
“Selamat malam Aini, selamat
tidur ya …!” ucap Dimas sebelum kami berpisah. Aku hanya bisa tersenyum malu
dengan panggilan yang tidak biasa aku dengar. Ah… Aini panggilan yang manis …
membuat dadaku berdetak makin kencang.
“Ow ah……” kubuka jendela kamar
sambil kuhempaskan nafas keras-keras dan wow betapa takjubnya diriku menjumpai
sesosok tubuh atletis sedang berolah raga tak jauh dari kamarku. Tak
kusia-siakan kesempatan ini untuk mencuri pandang wajah memesonanya dan ups…
tingkahku ketahuan oleh pemilik wajah itu. Wajahku jadi merona merah… kulempar
senyum termanis yang pernah kupunya dan oh
my God… dia membalas dengan senyum paling menawan yang pernah aku
lihat. Dan … yang membuat aku makin panas dingin dia berjalan ke arahku.
Ohno…
aku baru bangun tidur, rambut dan mukaku acak-acakan …
“Aduh… mesti gimana nih…, lari dari balik jendela atau…. ?”
rutukku dalam hati.
Tiba-tiba saja Dimas sudah ada di
seberang jendela kamar, menyapaku … dunia seakan berputar. Aku gugup setengah
mati ada cowok keren melihatku bangun tidur.
“ Oh…” keluhku panjang dalam hati.
“Pagi Nona Cantik, sudah siap
dengan aktivitas kamu pagi ini? Mau jogging bareng? Ayo…!” cerocosnya tanpa
memperhatikan ekspresiku yang pucat atau malah sebaliknya merah membara karena
menahan malu yang luar biasa.
“Ah … uh … anu…” cuman itu yang
bisa keluar dari mulutku.
“Lho kok kayak orang gagu sih … mau nggak …, malu
ya nemenin aku jogging?” sambar Dimas.
“Eh … nggak,
sebentar aku …” jawabku sambil memberi isyarat mau cuci mukadan gosok gigi.
Begitulah kami menjadi akrab, tapi aku tak berani mengembangkan
perasaanku lebih besar lagi aku takut akan kecewa. Aku tahu siapa diriku …bagai
pungguk merindukan bulan. Dimas begitu sempurna sedangkan aku…
Saat kupandang wajahku di cermin,
aku meyakinkan diriku bahwa Dimas hanya menyukaiku sebagai teman yang enak
diajak ngobrol dan bercanda, itu saja tidak lebih.
Dari pantulan kaca kulihat jelas
wajah gadis berumur menjelang 17 tahun, tidak cantik. Muka tirus dengan
hidung besar dan mulut lebar yang menghiasinya. Garis dari ayah dominan
membentuk struktur wajahku. Hidung tinggi dan bibir tipis ibu tidak diturunkan
sama sekali kepadaku. Kadang aku iri, kenapa kecantikan ibuku tidak menitis
kepadaku. Wajah dan sifat-sifat ayahlah yang lebih banyak membentuk karakterku.
Sudahlah kenapa aku jadi kufur tidak mensyukuri kesempurnaan anggota badan yang
kumiliki, toh masih banyak orang yang tidak seberuntung aku. Soal Dimas
menyukaiku sebagai teman atau lebih dari sekedar teman, serahkan saja pada
Tuhan. Tuhan pasti sudah mengatur semua ini dengan sebaik-baiknya. Aku akan
menjalaninya seperti aliran air yang mengalir dengan normal dan wajar.
“Mbak Nurul, tahu nggak kalau Mas
Dimas itu jadi bahan pembicaraan gadis-gadis di kampung ini lho!” kata Mbak
Parti suatu saat.
“Iya ta Mbak?” pancingku pada Mbak
Parti.
“Iya Mbak, malah putrane Pak
Kepala Desa, Mbak Lela juga ikut naksir lho,” cerita Mbak Parti penuh semangat.
“Wah ya cocok ya kalau misalnya Mbak Lela dan Mas Dimas jadian.
Mbak Lela kan cantik banget Mas Dimas juga ganteng,” cerocos Mbak Parti.
“Iya ya mereka bakal jadi
pasangan yang serasi…” aku mengiyakan menyetujui opininya padahal dalam
hati aku ingin berteriak aku tak rela Mas Dimas jadi milik orang lain.
Aku dan Dimas masih sering bertemu, liburan kuliahnya akan usai
minggu depan. Dia masih punya waktu tiga hari untuk tinggal di sini.
“Aini… kamu tahu tidak kalau
wajahmu itu kayak buah persik. Kuning, bersih, dan menyenangkan,” kata Mas
Dimas di suatu siang.
“Ah … buah persik bosok ya Mas…!,” kilahku sambil bergurau.
“Kalau cuman buah
persik busuk sih… banyak temennya…
tuh di sana di belakang rumah Kek Lik buahnya berjatuhan. Nggak ada yang
minat….,” jawabku ngawur.
“Kamu itu Ni, serius aku … kamu nggak tahu kan pesona dirimu? Kulitmu yang
kuning bersih itu salah satu kelebihanmu, satu lagi… mata kamu itu lho Ni…
bikin aku makin suka… mata kamu bersinar memancarkan kekuatan yang luar biasa
dan satu lagi aku melihat kecerdasan dari mata elangmu yang tajam itu!”
“Wow… terima kasih atas sanjunganmu Paduka, hamba hanyalah gadis
jelata yang hina papa. tak pantas rasanya Paduka berkata demikian…,” jawabku
seolah sedang bermain drama.
Dimas tertawa tergelak, kami pun tertawa bersama….
******
Rupanya kedekatan dan keakraban kami membuat hati seorang gadis terluka. Aku
tak tahu itu sampai suatu saat aku mendengar berita tersebut dari Mbak Parti.
“Mbak Nurul… Mbak Nurul itu beruntung lho bisa dekat sama Mas
Dimas!”
“Beruntung apaan sih Mbak, biasa saja kali. Kami kan cuma berteman,” sanggahku.
“Lha iya… lha wong Mbak Lela yang cuantik kayak gitu aja ditolak lhe sama Mas Dimas. Mau cewek yang seperti
apa sih Mas Dimas itu? Kurang apa Mbak Lela itu coba? Cantik, kaya, pinter
lagi?”
Cerocosan Mbak Parti tak begitu kuhiraukan, yang jadi pikiranku
sekarang kenapa Dimas tak pernah cerita masalah ini. Jangan-jangan ada
yang disembunyikan dariku.
“Mbak Nurul kok diam sih…?”
Pertanyaan Mbak Parti menyadarkanku. Aku hanya tersenyum simpul,
banyak pertanyaan yang memenuhi rongga kepalaku.
“Denger dari
siapa Mbak Parti, soal ini?” tanyaku penuh selidik.
“Hampir semua orang kampung
membicarakannya, malah khabarnya sekarang Mbak Lela pergi dari rumah nggak tahu pergi kemana. Bapak Ibunya
bingung mencarinya,” sambungnya berapi-api.
‘Lho kok jadi gini, aku harus bicara dengan Dimas. Apa
yang sebenarnya terjadi? Dia harus turut bertanggung jawab atas kepergian
Lela,’ gumamku seraya pergi mencari Dimas.
****
“Mas Dimas, kenapa nggak cerita kalau ada sesuatu yang terjadi antara Mas dan
Mbak Lela. Seluruh kampung sedang membicarakan hal itu lho!” tanyaku perlahan.
“Oh ya… bagus dong, aku jadi
terkenal!” jawabnya dengan bercanda.
“Mas serius nih… tahu nggak kalau
sekarang Mbak Lela pergi dari rumah. Bapak ibunya bingung mencarinya,” kataku
penuh penekanan.
“Ups… kok berkembang jadi rumit
sih, sebenarnya dua hari yang lalu Lela mengajakku bertemu di dekat dangau. Aku
diantar Taufiq lho… jangan cemburu!”
“Ih… GR… emang aku cemburu… nggak lah,” jawabku
bohong.
“Terus …,” sambungku penasaran
“Dia mengungkapkan perasaanya,
dia mencintaiku dan berharap bisa jadi pendampingku kelak,” paparnya.
“Tapi sayang, hatiku sudah
tertambat pada seorang gadis impianku dia gadis yang selama ini aku dambakan…”
Aku terdiam, lidahku kelu.
Ternyata Mas Dimas telah memiliki tambatan hati, siapakah gadis beruntung itu?
Perasaanku makin kacau.
“Ni… saatnya aku bicara jujur
padamu. Apakah ada ruang di hatimu untuk sebuah nama Dimas?” pertanyaannya
membuat copot jantungku. Tangannya menggenggam erat jemariku yang dingin.
“Apa Mas nggak salah ngomong,
jangan-jangan mengigau ya karena bingung ditinggal Mbak Lela,” jawabku
menyembunyikan perasaanku.
“Benar Ni, selama kita
bersama-sama, aku menemukan kecocokan. Kamu begitu dewasa, cerdas, dan taat
beribadah. Kamu perempuan yang selama ini aku cari,” tambahnya
meyakinkanku.
Aku hanya menunduk,
menyembunyikan air mata yang tiba-tiba keluar dari pelupuk mataku. Aku
masih ragu apakah cowok sekeren Dimas mau berpacaran dengan gadis berwajah
pas-pasan seperti aku. Diangkatnya daguku, diseka air mataku dengan penuh
perasaan.
“ Air matamu itu,
apakah jadi tanda jika perasaan kamu seperti yang kurasakan?” tanyanya mencari
kepastian.
Kuberanikan diri untuk menatap
manik matanya, dan kulihat kejujuran di sana. Keraguanku pun sirna. Aku
mengangguk pelan. Direngkuhnya tubuhku dalam pelukannya. Kurasakan kedamaian,
sedamai dalam pelukan Ayah.
“Mas.. kita harus membantu
mencari Lela sampai ketemu, karena kita terlibat dengan masalah Lela,” usulku.
“Ya.. kita harus mencarinya.
Sebaiknya kita pergi ke rumah Lela untuk mencari petunjuk kira-kira Lela ada di
mana.”
Kami bergegas ke rumah Pak
Susilo, ayah Lela. Kami diterima dengan baik, Pak Susilo amat mengerti posisi
kami. Beliau kecewa terhadap Lela yang masih belum dewasa dan menghadapi setiap
masalah dengan emosi. Kami menenangkan beliau dan berjanji akan membawa kembali
Lela setelah berhasil menemukannya.
Kami mendapat petunjuk jika Lela
sering ke Yogya setiap kali ada masalah, tapi kami tidak tahu pasti dia berada
di mana. Ada lima alamat yang harus kami datangi, semoga saja ada satu alamat
yang bisa membawa kami kepada Lela. Perjalanan kami ke Yogyakarta menjadi awal
bagi kami untuk dapat menyelesaikan persoalan kami dengan dewasa.
“Uh… capek, panas lagi. Semoga di
alamat terakhir ini kita bisa menemukan Lela,” ucap Dimas padaku.
“He eh,” aku mengiyakan.
“Assalamualaikum …” seruku sambil
mengetok-ketok pintu jati berwarna coklat itu.
“Waalaikumsalam,” sesosok wanita
paruh baya yang begitu anggun dan cantik keluar dari dalam rumah.
“Mencari siapa ya Dik?” tanyanya
halus.
“Kami temannya Lela dari
Temanggung. Bisa kami bertemu dengannya?” tanyaku sopan.
“Sebetulnya dia tidak mau
diganggu, sudah dua hari ini dia megurung dirinya dalam kamar, sebentar ya.
Silakan masuk. Duduk dulu, saya coba membujuknya,” ucap beliau sambil
mempersilakan kami masuk.
Alhamdulillah, lega rasanya kami
berhasil menemukan keberadaan Lela. Soal dia mau atau tidak diajak pulang itu
masalah belakangan.
Setelah menjelaskan kepada
tantenya permasalahan yang terjadi, Bu Farida tante Lela memberi pengertian
kepada Lela. Untungnya dia bisa bersikap dewasa dan dapat menerima kenyataan
pahit tersebut. Kami berempat ditemani oleh Bu Farida pulang ke
Temanggung. Selama perjalanan pulang, aku dan Bu Farida mengobrol banyak. Lela
yang duduk di samping kanan Bu Farida hanya diam. Dia masih marah dan terlihat
membenciku.
Avanza hitam itu berjalan mulus
hinga kami memasuki gapura masuk kampung. Bu Farida berbaik hati
mengantar kami pulang. Tanpa diantar dengan mobil Avanza itu, janji kami ke Pak
Susilo Ayah Farida mungkin tidak akan tertunaikan.
Setelah berbasa-basi dan mampir
sebentar ke rumah Lela, aku dan Dimas pamit. Esok akan jadi hari yang
panjang karena Dimas harus kembali ke Surabaya untuk meneruskan kuliahnya.
Masih ada sebersit tanya dalam hatiku mengapa Dimas memilih aku bukan Lela.
Senja itu, matahari mulai
menyembunyikan kilau cahayanya. Aku dan Dimas berpisah di depan halaman
rumah Kek Lik. Mata kami bertatapan, kami saling meyakinkan diri bahwa kami
bisa menjaga diri kami masing-masing. Kutatap punggung laki-laki yang telah
menggetarkan hati keperempuananku. Sebelum sosok itu menghilang di balik pintu,
aku masih menatapnya lekat. Aku berusaha meyakinkan diriku kalau Dimas cowok
yang baik dan akan jadi sandaran hidupku kelak selain Ayah dan Kek Lik.
Ah.. biarlah semuanya mengalir,
kalau dia memang jodoh yang telah Tuhan tetapkan untukku pastilah ketetapan itu
akan terjadi tinggal menunggu waktu dua tahun, lima tahun atau berapa pun dan
aku harus meyakininya. Sekarang,yang terpenting adalah belajar lebih giat agar
cita-citaku untuk kuliah dapat tercapai. Aku tak mau mengecewakan Ayah dan Kek
Lik.
Kumasuki rumah yang jadi naungan
hari-hariku. Keinginanku saat ini cuma satu, mandi untuk menyegarkan badan.
Selanjutnya, merebahkan tubuhku di ranjang … memandang langit-langit kamar
berharap melihat seraut wajah milik Dimas ada di sana. Uf… jatuh cinta memang
berjuta rasanya … logika bertukar tempat dengan perasaan yang membuncah.
Kunikmati saja perasaan itu.. Dimas akan jadi motivasi untuk meraih semua
mimpiku… semoga!
Catatan:
Cerpen ini pernah dikirimkan ke Panitia Lomba Menulis Cerpen Remaja tapi sayang belum menang...! Gak pa-pa yang penting tetap semangat nulis!
Catatan:
Cerpen ini pernah dikirimkan ke Panitia Lomba Menulis Cerpen Remaja tapi sayang belum menang...! Gak pa-pa yang penting tetap semangat nulis!
COMMENTS